
Meski tikus umumnya dianggap sebagai pembawa penyakit, namun jenis Rattus argentiventer dianggap layak menjadi bahan baku hidangan yang lezat -- karena hidup bebas dan makanan mereka yang organik.
Musim menangkap tikus mencapai puncaknya setelah panen padi pada bulan Juni dan Juli di pedesaan Provinsi Kompong Cham, sekitar 60 km dari ibukota Phnom Penh. Dia saat hewan-hewan itu kekurangan pasokan makanan.
Kurangnya makanan, ditambah musim hujan, memaksa tikus-tikus pindah ke tempat yang lebih tinggi. Sekitar 120 ekor di antaranya masuk ke jebakan yang dipasang petani setempat Chhoeun Chhim.
"Tikus liar berbeda. Makanan mereka lain," kata Chhim, menjelaskan perbedaan tikus sawah dengan sepupu mereka yang tinggal di kota -- yang dianggap hama dan tak layak dimasak.
"Tikus biasa itu kotor, kulitnya berkudis. Itu kenapa mereka tidak ditangkap untuk dimakan," kata Chhim, seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Senin (25/8/2014).
Jika sedang beruntung, Chhim bisa menangkap 25 kilo tikus dalam semalam.
Bagaimana rasanya? Menurut pria 37 tahun itu, mirip-mirip daging babi. Namun, Chhim tak sudi memakannya.
"Kami menjual tikus-tikus itu demi mendapatkan uang, lalu digunakan untuk membeli ikan," kata Chin Chon (36), penangkap tikus yang lain.
Tangkapan mereka, tikus-tikus yang berdecit berisik, dikumpulkan. Hewan-hewan itu diekspor ke Vietnam tiap paginya.
"Daging tikus bisa dipanggang, digoreng, direbus jadi sup, atau dicincang", kata Chheng An (22). Hampir tiap pagi ia menempuh perjalanan 4 jam naik motor, di jalanan berdebu ke perbatasan dengan Vietnam. Menjual hewan-hewan itu.
"Daging yang sungguh bagus, bisa dimasak beragam cara. Tikus-tikus sangat mahal di Vietnam, sebaliknya di sini sangat murah.
Sumber: Liputan 6
Posting Komentar
Komentar Anda Menjadi Masukan Bagi Saya